Pengajar Tasawuf Yang Berasal Dari Aceh Adalah

Pengajar Tasawuf Yang Berasal Dari Aceh Adalah

(Dari Islamisasi ke Organisasi)

BERBICARA masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tasawuf. Tasawuf merupakan corak awal dari ajaran Islam yang masuk ke Nusantara. Tidak berlebihan jika Alwi Shihab dalam bukunya, Akar Tasawuf Nusantara mengatakan Islam Indonesia adalah Islam Tasawuf.

Aceh sebagai gerbang masuknya Islam ke Nusantara juga tidak dapat dipisahkan dari tasawuf. Proses islamisasi yang terjadi pada abad ke-12 sampai abad ke-18 bercorak tasawuf. Tulisan ini hadir dengan maksud melihat perkembangan tasawuf di Aceh; mulai dari islamisasi hingga ke organisasi.

Dari falsafi ke akhlakiMasuknya Islam ke Aceh tidak bisa dilepaskan dari ajaran tasawuf, terutama ajaran tasawuf yang bersifat falsafi. Tokoh-tokoh tasawuf awal merupakan pendukung tasawuf falsafi. Mulai dari Hamzah al-Fansuri (1590) sampai Syamsuddin al-Sumatrani (1670) merupakan dua tokoh yang mewakili pandangan wujudiyah (panteisme).

Pemahaman wujudiyah al-Fansuri dan al-Sumatrani bersumber dari ajaran wujudiyah Ibn ‘Arabi dalam kitab Futuhat al-Makkiyah dan Fushuh al-Hikam. Meskipun dalam kedua kitab tersebut tidak pernah disebutkan istilah wujudiyah, wahdatul wujud atau hulul wa al-ittihad. Namun dalam kedua kitab tersebut dapat ditemukan pernyataan-pernyataan Ibn ‘Arabi yang mengarah kepada pemahaman tersebut. Seperti sebuah bait syair yang berbunyi, Kunna hurufan ‘aliyatin lam nuqal. Muta‘alliqatin fi dzura a‘la al-qulal. Ana anta fihi wa nahnu anta wa anta huwa wa al-kullu fi huwa huwa fasal ‘amman washal (kami huruf-huruf mulia namun tak terucapkan. Tersembunyi di puncak tertinggi dari bukit-bukit. Aku adalah engkau dalam Dia dan kami adalah engkau, dan engkau adalah Dia. Dan semuanya adalah Dia dalam Dia. Tanyalah mereka yang telah sampai).

Paham wujudiyah Ibn ‘Arabi ini mengalami perkembangan pesat di Aceh melalui al-Sumatrani yang ditengarai sebagai orang pertama yang menerjemahkan konsep Martabat Tujuh ke dalam bahasa Melayu. Martabat Tujuh sendiri merupakan satu paham wujudiyah yang dipopularkan oleh al-Burhanpuri (1620) dalam kitabnya al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi.

Martabat Tujuh mengajarkan bahwa wujud itu hanya satu dan wujud yang satu itu adalah wujud al-haqq (Allah). Tetapi kemudian satu wujud ini memiliki banyak manifestasi yang mengambil bentuk dalam tujuh tingkatan (martabat). Ketujuh martabat tersebut adalah ahadiyah, wahdah, wahidiyah, arwah, mitsal, ajsam, dan insan.

Ajaran Martabat Tujuh-nya al-Bunhapuri ini mendapatkan serangan keras dari Nuruddin al-Raniry (1685). Untuk tujuan ini, Ar-Raniry menulis sebuah kitab yang berjudul Fath al-Mubin ‘ala al-Mulhidin. Para ahli menduga polemik inilah yang menyebabkan Ar-Raniry meninggalkan Aceh pada 1644, dikarenakan pandangannya tersebut tidak mendapatkan sambutan yang luas dari masyarakat dan penguasa saat itu.

Polemik Ar-Raniry dengan kaum wujudiyah ini berhasil dinetralkan oleh Abdurrauf al-Singkili (1693). Al-Singkili saat itu meminta kepada Ibrahim al-Kurani, seorang gurunya di Mekkah untuk menulis satu kitab yang berisi tanggapan terhadap ajaran Martabat Tujuh yang diserang Ar-Raniry.

Menanggapi permintaan tersebut, al-Kurani menulis sebuah risalah yang berjudul Ithaf al-Zaki bi Syarh al-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Di dalam risalah ini, al-Kurani berusaha menetralisir pemahaman panteisme yang terdapat dalam kitab al-Tuhfah al-Mursalah dengan mengintrodusir penafsiran ortodoks ke dalam ajaran panteisme.

Cara itu kemudian juga digunakan oleh al-Singkili untuk menyinerjikan aspek mistisme Islam dengan syariat, seperti yang terlihat di dalam karyanya Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qa’ilin bi Wahdah al-Wujud dan Daqa‘iq al-Huruf. Di tangan al-Singkili-lah pemikiran tasawuf Aceh bergeser dari aliran tasawuf falsafi menjadi tasawuf akhlaki. Sejak saat itu, tasawuf akhlaki mulai menjadi arus utama (mainstream) tasawuf Aceh.

Perbedaan pemikiran tasawuf pada generasi awal tidak menyebabkan mereka berbeda dalam praktik mengamalkan ajaran tasawuf. Dalam praktinya, mereka tetap merujuk kepada amalan tarikat. Beberapa bagian syair-syair al-Fansuri menyiratkan bahwa dia berafiliasi dengan tarikat Qadiriyah dan bahkan penah menjadi seorang khalifah dari tarikat tersebut. Al-Sumatrani merupakan pengikut tarikat Syattariyah. Ar-Raniry sendiri mengamalkan tarikat Rifa’iyyah. Sedangkan al-Singkili mengajarkan zikir dan wirid dalam tarikat Syattariyah.

Mengalami pergeseranPengamalan ajaran tasawuf dengan tarikat tertentu tersebut mengalami pergeseran dalam beberapa dasarwarsa terakhir. Tarikat-tarikat tasawuf tersebut mulai mengambil bentuk dalam organisasi-organisasi tasawuf.

Organisasi-organisasi tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga kategori besar: Pertama, organisasi majelis zikir, seperti Majelis Zikir Zawin Nabi, Majelis Zikir Aceh, dan Majelis Zikir Ar-Rahmah. Kedua, organisasi majelis pengajian seperti majelis TASTAFI (tasawuf, tauhid, dan fikih). Dan, ketiga, organisasi yang berbentuk majelis zikir sekaligus majelis pengajian, seperti Majelis Pengajian Tauhid Tasawuf (MPTT) yang juga memiliki majelis zikir yang dikenal dengan Rateb Seuribe.

Pergeseran pola praktik ajaran tasawuf ini merupakan cara tasawuf beradaptasi dalam menghadapi tantangan dan perkembangan zaman, sehingga ia tetap diterima luas dalam masyarakat urban sekarang ini. Prediksi sebagian ahli yang mengatakan, praktik tasawuf akan sirna dengan sendirinya pada abad modern ini tidak terbukti. Kegersangan spiritual yang dialami masyarakat urban terobati dalam oase zikir dan pengajian tasawuf yang dilakukan organisasi-organisasi tersebut. Pada tahap berikutnya, organisasi-organisasi tasawuf tersebut mengerucut kepada dua kelompok besar Tastafi dan MPTT.

Dua kelompok ini tidak hanya berbeda dalam alur organisasi, namun juga berbeda dalam aliran pemikiran dan wilayah yang menjadi basis pengikut. Tastafi lebih pada majelis pengajian, sedangkan MPTT dengan Rateb Seuribe-nya lebih berorientasi kepada majelis zikir. Pemikiran Tastafi bercorak tasawuf akhlaki, sedangkan MPTT lebih berafiliasi kepada tasawuf falsafi.

Tastafi memiliki basis masa pengikut terbesar di wilayah pantai Utara dan Timur Aceh, sedangkan MPTT basis masa mayoritasnya tersebar sepanjang pantai Barat dan Selatan Aceh. Jika dua kelompok besar ini bisa bersinergi dalam mendakwahkan ajaran tasawuf, bukanlah suatu mustahil kalau kerak peradaban Islam akan kembali bersemi di Aceh. Semoga!

* Dr. Mizaj Iskandar, Lc., LL.M., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, dan Wakil Ketua Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh. Email: [email protected]

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

DI AWAL abad 20 Aceh memiliki beberapa ulama besar kharismatik, di antaranya Teungku Haji Muda Waly al-Khalidy, di Aceh Selatan Provinsi Aceh.

Nama Muda Waly sangat harum di dayah-dayah Aceh, kepribadiannya hampir tak ada cacat di dayah, bahkan ada semacam anggapan bahwa Muda Waly adalah ulama yang berpangkat Waliyullah.

Mengapa? Sebab Muda Waly adalah "Gure" (guru) para ulama yang mengasuh dayah yang ada sekarang di Aceh dan wilayah Sumatera.

Selain itu, Muda Waly juga merupakan Syaikh tarekat Naqsabandiyah di Aceh mana pengikut-pengikutnya tersebar di seluruh Nusantara. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa

dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak”.

Secara yuridis, pelaksaan syariat Islam telah diatur di dalam Undang-Undang, apabila ketiga pondasi Islam itu teraplikasikan secara integral dalam pelaksanaanya, maka itu baru dinamakan pelaksanaan syariat secara kaffah.

Yang menjadi pertanyaan sudahkan pelaksanaan Syariat Islam itu dilakukan secarah kaffah, jawabannya belum, syariat Islam yang dilaksanakan hanya masih sebatas permasalaan syar’iyah menyangkup permasalahan fikih, ushul fikih maupun ushuluddin.

Sedangkan permasalahan dibidang akhlak terutama tasawuf atau kesufian belum diaplikasikan dalam praktek penerapannya.

Penggunaan ajaran tasawuf sebagai salah satu media proses penyebaran dan penyiaran agama Islam.

Tasawuf atau yang dikenal juga sebagai sufisme merupakan suatu ajaran tentang bagaimana menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, serta membangun dhahir dan batin untuk dapat memperoleh kebahagian abadi.

Sejarah, madzhab, dan inti ajarannya memiliki sejumlah versi berbeda dalam mengartikan apa itu sufi atau tasawuf.

Tasawuf kemudian memiliki arti yang satu yaitu upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan serta menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi.

Masih dalam sumber yang sama, tasawuf sendiri dapat diartikan sebagai metode untuk mencapai kedekatan serta penyatuan antara hamba dan Tuhan serta mencapai kebenaran atau pengetahuan hakiki (ma’rifat) serta inti rasa agama.

Tasawuf islami mempunyai pengertian membersihkan diri (takhali) dari sesuatu yang hina, dan menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dekat dengan Allah atau sampai pada maqam yang tinggi.

Pengertian ini dapat dirangkum kembali dalam satu kata, yaitu taqwa pada kedudukan yang paling tinggi, baik lahir maupun batin.

7 menurut Zakaria al-Anshari, tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti serta pembangunan lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan abadi.

Ahmad Zaruq berkata, Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya untuk Allah semata.

Imam Junaid berkata, Tasawuf adalah berakhlak luhur dan meninggalkan semua akhlak tercela.

Abu Hasan asy-Syazili berkata, Tasawuf adalah melatih jiwa untuk tekun beribadah dan mengembalikannya kepada hukum-hukum ketuhanan.

Ibnu Ujaidah berkata, tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui untuk mencapai Allah, membersihkan batin dari semua akhlak tercela dan menghiasinya dengan beragam akhlak terpuji.

Awal dari tasawuf adalah ilmu, tengahnya adalah amal dan akhirnya adalah karunia.

Terdapat beberapa versi tentang munculnya ilmu tasawuf.

Ada yang percaya bahwa tasawuf telah ada sebelum Nabi Muhammad SAW menjadi rasul.

Ada pula yang meyakini bahwa tasawuf muncul setelah kerasulan Nabi.

Tasawuf sendiri muncul sebelum Nabi Muhammad SAW menjadi rasul.

Sebagian pendapat kemudian mengatakan bahwa paham tasawuf sebagai paham yang telah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah

.Hal ini kemudian berasal dari orang-orang daerah Irak dan Iran yang baru masuk Islam (sekitar abad ke-8 M). Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan serta menjauhkan diri dari berbagai kemewahan dan kesenangan keduniaan.

Sebenarnya banyak versi yang menjelaskan definisi mengenai tasawuf (tasahawwuf).

Secara terminologis, tasawuf telah didefinisikan secara beragam, hingga timbul kesan bahwa satu definisi dengan definisi yang sain saling bertentangan.

Tasawuf islami mempunyai pengertian membersihkan diri (takhali) dari sesuatu yang hina, dan menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dekat dengan Allah atau sampai pada maqam yang tinggi.

Pengertian ini dapat dirangkum kembali dalam satu kata, yaitu taqwa pada kedudukan yang paling tinggi, baik lahir maupun batin.

Menurut Zakaria al-Anshari, tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti serta pembangunan lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan abadi.

Syeikh Ahmad bin Muhammad Ajibah Al-Hasani Asy-Syadzili menuklil perkatanan Imam Al-Ghazali dalam Iqodhul Himam “Adapun Hukum mempelajari ilmu tasawuf menurut hukum syara’ terhadap hal ini Al-Ghazali berkata;

Sesungguhnya tasawuf itu fardhu ain, karena setiap orang tidak terlepas dari cacat atau penyakit hati kecuali nabi-nabi alaihimu sholatu wassalam. Lebih Jauh Imam Abu Hasan As-Syadzili mengatakan

“Barang siapa yang tidak masuk tenggelam ke dalam ilmu kami ini, maka ia mati dalam keadaan berdosa besar tapi ia tidak mengetahui bahwa ia berdosa besar. (Al-Hasani, 2016, p. hlm 19)

Dari aspek sejarah banyak terbukti bahwa dari tokoh-tokoh sufi Aceh inilah kemudian tasawuf menyebar dan membentuk jaringan-jaringan ke seluruh Nusantara.

Sedangkan secara substansial, pemahaman tasawuf Aceh memengaruhi daerah-daerah lain, sehingga dibeberapa daerah lain ada kecendrungan isi dan corak pemikiran tasawufnya mirip dengan tasawuf Aceh, kendatipun sebetulnya sedikit banyak telah mengalami pergerseran-pergeseran atau mengalami modifikasi.

Ketika Aceh sedang mengalami puncak kejayaannya seperti disinggung di atas, ternyata secara substansial, mazhab tasawuf Ibnu Arabi dan al-Jilli yang berwatak pantheisme telah mendominasi pemikiran

dan penghayatan keagamaan dalam istana dan kalangan masyarakat umum, terutama karena ajaran itu telah dianut dan disebarkan oleh dua pemuka tasawuf Aceh, yaitu Hamzah Fansuri dan Muridnya Syamsuddin Sumatrani (wafat 1630 M).

Melalui dua orang sufi ini, terutama melalui penulisan kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu, ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang kemudian dikenal dengan Wujudiyah memperoleh kemajuan sangat pesat dianut secara luas oleh masyarakat umum dan kalangan istana.

Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa substansi pemikiran tasawuf yang nonIbnu Arabi dan al-Jilli tidak bisa berkembang, karena buktinya pada kurun waktu selanjutnya banyak muncul tokoh-tokoh sufi lainnya, seperti Nuruddin al-Raniry, Abd Rauf al-Singkili, dan sebagainya yang bergeser bahkan terkesan menolak pemikiran ala Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani.

Aceh merupakan daerah sentral dalam transformasi Islam di Indoensia. Sejak kota Malaka jatuh ke tangan Portugis, Kemunculan dan perkembangan tasawuf serta tarekat di Aceh tidak terlepas dari masuknya Islam dan perkembangannya yang dibawa oleh ulama-ulama Islam timur tengah yang ikut dalam kepal pedagang dari Arab, India dan Persia.

Dalam perkembangan selanjutnya, keenam daerah tersebut tersatukan menjadi daerah Aceh oleh Sultan Husein Syah yang memerintah Aceh Darussalam pada tahun 870-885 H/1465-1480.

Di masa inilah baru terbentuk kesatuan Aceh, yaitu satu agama, satu bangsa, dan satu Negara, dan kesatuan inilah Aceh menjadi kuat dan megah hingga mencapai zaman kegemilangannya.

Islam berkembang di Aceh dengan sangat cepat. Aceh menjadi salah satu kekuatan kerajaan Islam di Nusantara.

Kejayaan dan kemajuan yang dicapai oleh Aceh menyebabkan berdatangan ulama-ulama dari Arab, Persia atau India menjalin hubungan demi pengembangan keilmuan di Aceh.

Di Aceh telah lahir ulama-ulama besar yang membaktikan diri mereka dalam renungan dakwah Islam sehingga lahirlah khazanah keilmuan dan wacana intelektual keagamaan.

Diantaranya juga adalah tasawuf dan tarekat yang juga ikut berkembang pesat mewarnai kehidupan keagamaan di Aceh.

Dalam pembicaraan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di Indonesia, Aceh memainkan peranan yang sangat penting, karena Aceh merupakan wilayah yang tidak bisa di pisahkan dalam setting sejarah Islam di Indonesia khususnya dan dengan Malaysia, Thailand, Brunei, dan Negara-negara di semenanjung melayu pada umumnya.

Pemikiran tasawuf di Aceh banyak terkait dengan pemikiran-pemikiran tasawuf di wilayah lain di nusantara, baik dari aspek sejarah maupun substansi pemikirannya.

Dari aspek sejarah banyak terbukti bahwa dari Tasawuf dan Tarekat di Aceh: Tokoh-Tokoh Dan Ajarannya diakses 24 Desember 2017.

Model pemikiran tasawuf di Aceh pada awalnya bercorak pemikiran tasawuf falsafati atau tasawuf wujudiyah yang berasal dari pemikiran Imam Al-Ghazali, Syekih Abdul Qadir Al-Jilani, Shaikh Muhiyidin Ibn Arabi, dan Syeikh Muhammad Bahahuddin Naqsyabandi.

Dari aspek sejarah banyak terbukti bahwa dari tokoh-tokoh sufi Aceh inilah kemudian tasawuf menyebar dan membentuk jaringan-jaringan ke seluruh Nusantara.

Sedangkan secara substansial, pemahaman tasawuf Aceh memengaruhi daerah-daerah lain, sehingga dibeberapa daerah lain ada kecendrungan isi dan corak pemikiran tasawufnya mirip dengan tasawuf Aceh, kendatipun sebetulnya sedikit banyak telah mengalami pergerseran-pergeseran atau mengalami modifikasi.

Ketika Aceh sedang mengalami puncak kejayaannya seperti disinggung di atas, ternyata secara substansial, mazhab tasawuf Ibnu Arabi dan al-Jilli yang berwatak pantheisme telah mendominasi pemikiran dan penghayatan keagamaan dalam istana dan kalangan masyarakat umum,

terutama karena ajaran itu telah dianut dan disebarkan oleh dua pemuka tasawuf Aceh, yaitu Hamzah Fansuri dan Muridnya Syamsuddin Sumatrani (wafat 1630 M).

Melalui dua orang sufi ini, terutama melalui penulisan kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu, ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang kemudian dikenal dengan Wujudiyah memperoleh kemajuan sangat pesat dianut secara luas oleh masyarakat umum dan kalangan istana.

Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa substansi pemikiran tasawuf yang nonIbnu Arabi dan al-Jilli tidak bisa berkembang, karena buktinya pada kurun waktu selanjutnya banyak muncul tokoh-tokoh sufi lainnya,

seperti Nuruddin al-Raniry, Abd Rauf al-Singkili, dan sebagainya yang bergeser bahkan terkesan menolak pemikiran ala Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani.

Awal perkembangan Islam di Aceh bercorak tasawuf yang mengalami perkembangan pesat dizaman Iskandar Muda dan mengalami keruntuhan dimasa penjajahan Belanda.

Tasawuf merupakan bagian dari pondasi Islam yang menyangkut tentang akhlak yaitu penyucian hati dari kotoran materi dam sifat wujud diri kita (ananiyah) dalam Ibadah.

Seseorang untuk melakukan pemahaman dan pengamalan terhadap agama Islam. Sehingga tidak semua orang Islam dapat memperoleh pengakuan bahwa ianya adalah seorang yang tasawuf atau sufi.

Untuk memperoleh gelar sufi seseorang harus tekun dan sabar, sehingga seorang sufi digelar sebagai insan kamil yaitu manusia sempurna secara ketauhidan, ilmu pengetahuan dan akidahnya.

Tasawuf merupakan bagian dari pondasi Islam yang menyangkut tentang akhlak yaitu penyucian hati dari kotoran materi dam sifat wujud diri kita (ananiyah) dalam Ibadah.

Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki hati dan memfokuskan hati hanya untuk Allah semata.

Pusat pengamalan tasawuf meliputi syariat, (syari’ah) tarekat (thariqoh) dan hakekat (haqqiqah). Syariat menyangkut amalan lahir, tarekat menyangkut amalan hati yang sekaligus merupakan pengantar menuju hakekat, dan hakekat menyangkut pengamalan ruh merupakan kemampuan menyaksikan (musyahadah) Allah swt dengan mata hatinya.

Pentingnya peran tasawuf dalam sejarah, budaya, dan kehidupan keagamaan masyarakat aceh, serta memberikan gambaran tentang bagaimana nilai-nilai tasawuf tetap relevan dalam konteks modern. (*)

*) PENULIS adalah Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang dan Alumni Dayah Al-athiyah Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Pengelolaan sampah dengan menerapkan prinsi 3R perlu kamu lakukan. 3R ini yaitu (Reuse, Reduce, dan Recycle). Apalagi,  mengelola sampah dengan prinsip 3R sangat mudah dan tidak membutuhkan peralagan apa pun:

1. Reuse (Penggunaan kembali). Reuse adalah mengunakan kembali sampah secara langsung, dengan fungsi yang masih sama ataupun fungsi yang beda.

Contoh kegiatan reuse dalam kehidupan sehari-hari:

- Menggunakan kembali wadah yang sudah kosong untuk fungsi yang lain.

- Memakai kertas yang masih kosong untuk keperluan menulis.

2. Reduce (Pengurangan). Reduce adalah pengurangan segala kegiatan yang dapat menimbulkan sampah.

Contoh kegiatan reduce dalam kehidupan sehari-hari:

- Memilih produk dengan kemasan yang bisa di daur ulang.

- Hindari pengunaan dan pemakaian produk yang menimbulkan banyaknya sampah.

- Menggunakan produk yang bisa diisi ulang kembali.

- Menghindari penggunaan barang yang tidak perlu.

3. Recycle (Daur ulang). Recyle adalah pemanfaatan kembali sampah dengan beberapa tahapan pengolahan.

Contoh kegiatan recyle (daur ulang) sehari-hari:

- Olah sampah plastik menjadi kerajinan tangan.

- Olah sampah organik untuk kompos.

Dalam mengelola sampah bisa dengan daur ulang, supaya memiliki nilai yang bermanfaat lagi. Daur ulang adalah suatu cara untuk mengelola sampah dengan pemilahan, pengumpulan, pemrosesan dan pembuatan produk sampai bernilai guna lagi. Manfaat dari daur ulang antara lain adalah penghematan SDA ( Sumber Daya Alam), penghematan Energi, penghematan lahan TPA, lingkungan menjadi lebih asri, serta pengurangan biaya belanja.

Memahami sejarah tasawuf atau sufisme erat kaitannya dengan tradisi dan wacana intelektual Islam di Nusantara. Tasawuf atau sufisme merupakan sebuah ajaran yang berkembang dalam agama Islam. Tasawuf tahap paling tinggi seseorang untuk melakukan pemahaman dan pengalaman terhadap agama Islam. Sehingga tidak semua orang Islam dapat memperoleh pengakuan bahwa ianya adalah seorang yang tasawuf atau sufi. Untuk memperoleh gelar sufi seseorang harus tekun dan sabar, sehingga seorang sufi digelar sebagai insan kamil yaitu manusia sempurna secara ketauhidan, ilmu pengetahuan dan akidahnya. Aceh merupakan pintu masuk agama Islam ke Nusantara, aceh ramai didatangi oleh para saudagar muslim yang berasal dari Timur Tengah, tujuan mereka saat itu adalah untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Tahap perkembangan Islam berikutnya adalah muncul-muncul sederetan para tokoh intelektual Islam di Aceh, mereka adalah para sufi, pengetahuan keilmuan dan pemahaman keislaman para sufi tersebut telah menempati tempat istimewa dalam pengembangan Islam di Aceh, sehingga pemikiran mereka menjadi pola pikir di kesultanan Aceh ketika itu karya para tokoh sufi tersebut dipercayakan sebagai Syaikhul Islam di Kerajaan Aceh Darussalam. Segala paham dari tokoh sufi tersebut terutama pemahaman tentang Islam disambut baik oleh masyarakat Aceh. Adapun tokoh dimaksud adalah Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri dan Abdur Rauf as-Singkili.

Anda mungkin ingin melihat